Kebahagiaan dan Kesempurnaan Manusia

Oleh Mohammad Adlany, Ph.D. (Anggota Dewan Syura IJABI)
Pembahasan mengenai kebahagiaan dan kesempurnaan manusia merupakan persoalan mendasar dalam filsafat dan etika. Gambaran yang utuh tentang hal ini hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang benar mengenai hakikat kebahagiaan, manusia, serta tujuan keberadaannya.
Dalam tradisi filsafat Barat, Immanuel Kant berpendapat bahwa terdapat pemisahan antara kesempurnaan (kamāl) dan kebahagiaan (sa‘ādah). Menurutnya, hanya ada satu kebaikan sejati, yakni good will (kehendak yang baik). Kehendak baik itu berarti tunduk pada perintah nurani, terlepas dari apakah hal tersebut mendatangkan kesenangan atau tidak. Sedangkan kebahagiaan, menurut Kant, adalah kenikmatan dan kesenangan yang bebas dari rasa sakit dan penderitaan. Dengan demikian, etika berhubungan dengan kesempurnaan, bukan dengan kebahagiaan (Muthahhari, Filsafat Akhlak, hlm. 70–71).
Berbeda dengan Kant, para ulama, filsuf, dan ahli etika Islam memandang bahwa semakin manusia memperoleh kesempurnaan dan semakin dekat dengan tujuan penciptaannya, semakin ia meraih kebahagiaan. Mereka tidak memisahkan kebahagiaan dari kesempurnaan. Namun demikian, jika yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah kenikmatan indrawi atau materi duniawi, maka jelas kesempurnaan tidak identik dengan kebahagiaan semacam ini (Muthahhari, Filsafat Akhlak, hlm. 72).
Perbedaan pandangan mengenai hakikat manusia juga berimplikasi pada pandangan tentang kebahagiaan. Mazhab yang menganggap manusia sebagai makhluk material murni akan menilai kebahagiaan hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materi. Sebagian beranggapan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada sejauh mana ia menikmati kenikmatan material, baik secara individu maupun kolektif. Sebaliknya, mereka yang menempatkan akal sebagai tolok ukur kemanusiaan menilai kebahagiaan sebagai hasil dari perkembangan akal melalui pengetahuan dan pencapaian hakikat-hakikat ilahi.
Kaum sufi memandang manusia dari sisi batin, sebagai makhluk yang terpenjara dan terasing dari asal dan tanah air sejatinya. Kebahagiaan, bagi mereka, diukur dari sejauh mana manusia menikmati cinta ilahi. Adapun Nietzsche meletakkan dasar kebahagiaan pada kekuasaan, sehingga manusia yang bahagia adalah manusia yang berkuasa.
Dalam perspektif Islam, manusia adalah makhluk yang tersusun dari ruh dan jasad, bukan sekadar entitas material. Kehidupan hakikinya berada di alam lain, ia diciptakan untuk selamanya, dan amal, akhlak, serta perbuatannya membentuk jasad ukhrawi. Dengan demikian, kebahagiaan manusia terwujud melalui pengembangan potensi jasmani dan ruhani secara seimbang.
Allamah Thabathaba’i menjelaskan: “Kebahagiaan setiap sesuatu ialah sampainya pada kebaikan wujudnya. Kebahagiaan manusia, yang merupakan makhluk tersusun dari ruh dan jasad, ialah sampainya pada kebaikan jasmani dan ruhani serta kenikmatan darinya.” (Tafsir al-Mizan, jilid 11, hlm. 28).
Al-Qur’an menegaskan hakikat ruh manusia:
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي
“Aku tiupkan kepadanya dari Ruh-Ku.” (QS. Al-Hijr [15]: 29)
Ruh yang berasal dari Allah itu hanya akan bahagia bila kembali mendekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ruh adalah hakikat manusia yang berasal dari Allah (inna lillāh), yang setelah melalui perjalanan turun ke alam materi, menetap sementara di dunia, lalu kebahagiaannya terletak pada kembalinya kepada asalnya. Jalan kembali itu ditempuh melalui cinta, pengendalian diri, dan kematian sukarela (mematikan hawa nafsu), sehingga meskipun jasadnya hidup di dunia, ruhnya telah terikat dengan alam transenden.
Namun, hal ini tidak berarti mengabaikan urusan duniawi. Kenikmatan materi, kesehatan, dan kesejahteraan tetap termasuk bagian dari kebahagiaan manusia. Bahkan syariat menekankan pentingnya menjaga kesehatan jasmani, karena jasad yang sehat menjadi syarat bagi ruh yang sehat. Meski demikian, ruh tetap dipandang sebagai inti hakikat manusia, dan tujuan penciptaannya adalah mendekat kepada Allah.
Allah Swt berfirman:
يا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعي إِلى رَبِّكِ راضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلي في عِبادي وَ ادْخُلي جَنَّتي
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–30)
يا أَيُّهَا الْإِنْسانُ إِنَّكَ كادِحٌ إِلى رَبِّكَ كَدْحاً فَمُلاقِيهِ
“Wahai manusia, sesungguhnya engkau bekerja keras menuju Tuhanmu, maka pasti engkau akan menemui-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq [84]: 6)
في مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَليكٍ مُقْتَدِر
“Di tempat yang benar, di sisi Raja Yang Maha Berkuasa.” (QS. Al-Qamar [54]: 55)
Ibadah merupakan sarana utama untuk mendekat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan salat…” (QS. Al-Baqarah [2]: 45)
Segala sesuatu yang menolong manusia dalam mendekat kepada Allah, termasuk amal sosial dan pelayanan terhadap sesama, merupakan bagian dari ibadah dan jalan kebahagiaan sejati.
Allamah Thabathaba’i menegaskan: “Segala sesuatu yang dianggap sebagai nikmat, pada hakikatnya hanya merupakan nikmat bila sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya bagi manusia. Sebab, hal-hal itu diciptakan untuk menjadi sarana manusia dalam menempuh jalan kebahagiaan sejatinya, yakni kedekatan kepada Allah melalui ibadah dan ketundukan kepada rububiyyah-Nya.” (Tafsir al-Mizan, jilid 5, hlm. 281).
Sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an:
ما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
Dengan demikian, kebahagiaan dan kesempurnaan manusia dalam perspektif Islam bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan. Kesempurnaan ruhani dan jasmani yang seimbang, disertai penghambaan kepada Allah, merupakan jalan menuju kebahagiaan hakiki yang abadi.




