Khazanah

Fine Tuning: Jejak Tuhan Dalam Semesta

Oleh Dr. Dimitri Mahayana, Sekretaris Dewan Syura IJABI

Di sebuah malam yang kelam, bintang-bintang berkelip bagai nyala lilin di kanvas langit yang tak bertepi. Bayangkan seorang pelukis kosmik, berdiri di hadapan semesta yang masih hening, menggenggam kuas untuk merajut galaksi, bintang, dan planet dalam harmoni yang memukau.

Teleskop seperti Hubble dan James Webb telah membuka jendela ke keajaiban ini, memperlihatkan sekitar 2 triliun galaksi, masing-masing sebuah pusaran cahaya yang menampung 100 miliar hingga 1 triliun bintang. Angka ini—10^23 hingga 10^24 bintang—bagaikan setiap butir pasir di pantai Bumi berubah menjadi matahari yang menyala. Misi Kepler menyingkap bahwa 20% bintang mirip Matahari memiliki planet di zona layak huni, tempat air cair bisa mengalir, menghasilkan 10^22 hingga 10^23 planet seperti Bumi, masing-masing berpotensi menjadi panggung kehidupan.

Sir Roger Penrose (lahir 1931), dalam The Emperor’s New Mind (1989), menghitung peluang kemunculan semesta ini secara acak: “Peluang untuk mendapatkan keadaan awal yang sangat teratur ini secara acak adalah sekitar satu banding 10^10^123” (Penrose, 1989, hlm. 344). Angka yang begitu kecil ini, seperti setetes tinta di lautan, mengisyaratkan bahwa semesta kita bukanlah kebetulan, melainkan sebuah lukisan yang dirancang dengan ketepatan luar biasa.

Dari gemerlap galaksi, kita mengalir ke harmoni yang lebih halus, di mana setiap elemen semesta menari mengikuti partitur kosmik. Semua materi, dari bintang yang berkobar hingga debu kosmik, tertata rapi dalam Tabel Periodik Mendeleev, seolah setiap atom adalah nada dalam simfoni agung. Hidrogen, uranium, dan setiap elemen di antaranya diatur oleh jumlah proton, neutron, dan elektronnya, mematuhi aturan Model Standar fisika partikel dengan presisi yang menakjubkan. Elektron berputar, proton menjadi inti, dan neutron menjaga keseimbangan, menciptakan sidik jari cahaya—spektrum unik setiap zat yang terlihat melalui spektroskopi.

iklan

Alister McGrath (lahir 1953), dalam A Fine-Tuned Universe (2009), menulis, “Alam semesta tampaknya telah disetel dengan sangat halus untuk memungkinkan kehidupan… ini menimbulkan pertanyaan tentang makna dan tujuan kosmik” (McGrath, 2009, hlm. 127).

Hugh Ross (lahir 1945), dalam The Creator and the Cosmos (1993, edisi diperbarui 2018), menambahkan, “Kondisi awal alam semesta menunjukkan desain yang begitu tepat sehingga menunjukkan adanya tujuan cerdas” (Ross, 2018, hlm. 89).

Radiasi latar belakang kosmik, ditemukan oleh Arno Penzias (1933–2021) dan Robert Wilson (lahir 1936) pada 1965, menjadi jejak harmoni awal semesta, seperti gema pertama dari sebuah melodi yang ditulis dengan sengaja.

Meluncur dari kosmos yang luas, kita tiba di Bumi, sebuah permata hijau di tengah lautan bintang. Di sini, 8,7 juta spesies makhluk hidup menari dalam kitab evolusi, masing-masing sebuah keajaiban yang terukir dengan teliti.

Dalam tubuh manusia, 37,2 triliun sel bekerja bersama, membentuk otot, tulang, dan jaringan dalam simfoni biologis. Sistem saraf kita, dengan 86 miliar neuron dan hingga 10.000 sinapsis per neuron, adalah jaringan yang lebih rumit daripada galaksi, mampu melahirkan pikiran, emosi, dan kesadaran. Otak kita, mampu menyimpan 2,5 petabyte data, bagaikan perpustakaan kosmik yang merekam jutaan jam pengalaman.

Federico Faggin (lahir 1941), perintis mikroprosesor, berkata, “Kesadaran tidak dapat dijelaskan hanya dengan komputasi fisik. Ada sesuatu yang lebih fundamental, sesuatu yang menyerupai kehendak kreatif di balik alam” (Faggin, wawancara 2020). Kesadaran ini, seperti nyala api yang tak bisa disentuh, mengundang kita untuk bertanya: apakah harmoni dari galaksi hingga neuron ini hanya kebetulan, atau ada tangan yang merancangnya?

Seperti sungai yang mengalir menuju sumbernya, pemikiran ini membawa kita pada kebijaksanaan kuno Tiongkok.

Dalam Tao Te Ching (abad ke-6 SM), Laozi (abad ke-6 SM, kemungkinan legendaris) berbisik, “Dao menghasilkan satu, satu menghasilkan dua, dua menghasilkan tiga, dan tiga menghasilkan segala sesuatu” (Laozi, Tao Te Ching, Bab 42, terjemahan 2005 oleh D.C. Lau).

Yin dan yang, dua kekuatan yang saling melengkapi, mencerminkan keseimbangan konstanta fisika yang memungkinkan kehidupan. Zhuangzi (369 SM–286 SM) menambahkan puisi, “Segala sesuatu mengalir dalam harmoni, seperti musik yang dimainkan tanpa pemain” (Zhuangzi, The Complete Works, terjemahan 2013 oleh Brook Ziporyn, hlm. 54).

Seperti lukisan tinta Shan Shui (abad ke-7 hingga ke-10), yang menyeimbangkan gunung dan air, fine-tuning semesta adalah tarian keteraturan, seolah seorang pelukis kosmik telah menorehkan setiap detail dengan tujuan.

Dari kebijaksanaan kuno, kita melangkah ke kanvas seni, di mana semesta menjadi lukisan seorang maestro.

Vincent van Gogh (1853–1890) pernah berkata, “Saya bermimpi melukis dan kemudian saya melukis mimpi saya” (Van Gogh, surat kepada Theo van Gogh, 1888, diterjemahkan dalam Vincent van Gogh: The Letters, 2009).

Dalam Starry Night (1889), setiap pusaran bintang adalah sapuan kuas yang disengaja; demikian pula, konstanta fisika seperti gravitasi atau kekuatan elektromagnetik adalah goresan presisi yang memungkinkan kehidupan.

Isaac Newton (1643–1727), dalam Mathematical Principles of Natural Philosophy (1687), menulis, “Semesta yang begitu indah ini, dengan segala planet dan kometnya, tidak mungkin tercipta tanpa adanya desain dari suatu kecerdasan yang maha kuasa” (Newton, 1687). Bagi Newton, hukum-hukum alam adalah partitur musik kosmik, ditulis oleh seorang komponis agung.

Aliran pemikiran ini mengalir ke argumen kosmologis, yang melihat semesta sebagai cerita dengan bab pertama yang jelas.

Georges Lemaître (1894–1966), pastor dan kosmolog, merumuskan teori Big Bang dan berkata, “Sains tidak bertentangan dengan gagasan tentang asal usul semesta yang memiliki makna” (Lemaître, 1958). Big Bang, dibuktikan oleh Edwin Hubble (1889–1953) melalui ekspansi semesta pada 1929, menandai permulaan 13,8 miliar tahun lalu.

William Lane Craig (lahir 1949), dalam The Kalam Cosmological Argument (1979), menegaskan, “Jika alam semesta memiliki awal, maka harus ada penyebab transenden yang membawanya ke dalam keberadaan” (Craig, 1979, hlm. 63). Probabilitas Penrose yang mustahil memperkuat bahwa keteraturan ini bukan kebetulan, melainkan ciptaan seorang Aktor Cerdas.

Dari awal semesta, kita mengalir ke argumen teleologis, yang melihat tujuan dalam setiap nada simfoni kosmik.

Michio Kaku (lahir 1947), dalam The God Equation (2021), menulis, “Jika konstanta ini hanya sedikit berbeda, bintang tidak akan terbentuk, dan kita tidak akan ada di sini” (Kaku, 2021, hlm. 142).

Fine-tuning, seperti yang diuraikan McGrath dan Ross, menunjukkan bahwa rasio massa proton terhadap elektron dirancang untuk kehidupan. Ross menegaskan, “Presisi konstanta fisika menunjukkan bahwa alam semesta dirancang untuk menjadi rumah bagi kehidupan cerdas” (Ross, 2018, hlm. 112). Dalam Neo-Konfusianisme, konsep Li—pola inheren alam—mencerminkan keteraturan ini, seperti lukisan yang setiap detailnya sengaja ditempatkan.

Di ujung perjalanan, semesta terbentang bagai puisi kosmik, dengan 2 triliun galaksi, 10^24 bintang, dan 86 miliar neuron dalam setiap kepala manusia. Probabilitas Penrose, fine-tuning McGrath dan Ross, serta kebijaksanaan Dao dan keindahan Shan Shui bersatu dalam harmoni yang memukau.

Argumen kosmologis dan teleologis, seperti dua aliran sungai yang bertemu, mengalir menuju kesimpulan: semesta ini adalah karya seorang Pencipta Maha Cerdas. Setiap bintang, setiap sel, setiap pikiran adalah bait dalam narasi epik, mengundang kita untuk kagum pada jejak Tuhan yang terukir dalam harmoni kosmik yang tak pernah usai. “Maka nikmat Tuhan kalian yang mana lagi yang akan kalian dustakan?”

Jakarta, 17 Juli 2025

Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng.
Sekertaris Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button