Menjadi Gusdurian: Melawan Intoleransi Mazhab dan Mendukung Toleransi Islam di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, intoleransi mazhab di Indonesia kembali menjadi isu penting yang memicu perhatian serius di kalangan umat Islam. Komunitas Syi’ah, khususnya yang tergabung dalam Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), kerap menghadapi stigma negatif, diskriminasi sosial, dan penolakan terbuka. Padahal, Indonesia menjunjung tinggi nilai Pancasila dan kebhinekaan, serta menjamin kebebasan beragama setiap warga negara melalui konstitusi. Namun kenyataannya, intoleransi antarmazhab masih terjadi dan mengancam persatuan umat Islam di tanah air.
IJABI sendiri berdiri sebagai organisasi yang menaungi Muslim Syi’ah Ahlulbait di Indonesia dengan tujuan mempererat ukhuwah dan mengembangkan kegiatan sosial keagamaan yang inklusif. Sejak didirikan, IJABI menegaskan komitmennya kepada Pancasila, menolak kekerasan, serta aktif membuka ruang dialog dengan berbagai kelompok agama dan mazhab. Selain itu, IJABI juga berperan dalam berbagai kegiatan sosial dan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat luas, yang kerap kurang diketahui publik.

Namun, stigma negatif yang melekat pada komunitas Syi’ah membuat IJABI dan anggotanya sering menjadi korban intoleransi. Contohnya, di beberapa daerah, mereka mengalami penolakan untuk mengadakan kegiatan keagamaan secara terbuka, bahkan mendapat ancaman yang mengganggu kenyamanan beribadah. Kasus-kasus seperti ini menjadi gambaran nyata bagaimana intoleransi mazhab masih menjadi persoalan serius di Indonesia.
Sebagai bagian dari komunitas Gusdurian, kami meyakini bahwa perbedaan mazhab bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dipahami dan dirayakan sebagai kekayaan Islam Indonesia. Gus Dur, sosok yang menjadi inspirasi kami, selalu menegaskan bahwa agama harus menjadi pemersatu, bukan sumber perpecahan. Beliau pernah berkata, “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.” Semangat ini mendorong kami membela kelompok minoritas seperti IJABI yang mengalami marginalisasi karena perbedaan keyakinan.
Peran media dan media sosial juga sangat menentukan dalam dinamika intoleransi ini. Di era digital, penyebaran informasi yang tidak akurat atau ujaran kebencian dapat memperburuk situasi. Oleh karena itu, Gusdurian aktif mengedukasi masyarakat melalui tulisan, diskusi publik, dan kampanye literasi keagamaan agar narasi moderasi dan toleransi lebih dominan. Literasi keagamaan yang baik sangat penting untuk meminimalisir kesalahpahaman antarmazhab dan memperkuat persatuan.

Toleransi yang diusung Gusdurian bukan sekadar wacana, melainkan harus diwujudkan dalam aksi nyata. Saat kelompok minoritas seperti IJABI diserang atau dipinggirkan, Gusdurian mengambil peran aktif melalui diskusi publik, tulisan edukatif, dan aksi sosial bersama. Di era digital yang rawan ujaran kebencian, literasi keagamaan dan pemahaman antarmazhab menjadi kunci untuk memperkuat kebersamaan dan menjaga kerukunan umat Islam.
Di tengah polarisasi yang semakin meningkat, ajaran Islam sebagaimana diperjuangkan Gus Dur mengajarkan kasih sayang, persaudaraan, dan keadilan. Membela IJABI bukan hanya soal mendukung keyakinan mereka, tetapi memperjuangkan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang lebih besar. Kita semua dipanggil untuk menjadi agen perubahan, bukan penonton sejarah. Jika kita ingin Indonesia tetap damai, plural, dan berkeadilan, maka sikap inklusif dan keberanian melawan intoleransi antarmazhab harus terus kita jaga bersama. Karena pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari bangsa Indonesia yang sama.
Mari dukung gerakan Gusdurian dalam memperkuat toleransi dan keberagaman Islam di Indonesia. Bagikan tulisan ini agar semakin banyak yang sadar akan pentingnya melawan intoleransi mazhab. Bersama, kita bisa membangun Indonesia yang damai, inklusif, dan berkeadilan.

Sri Wastini
- Sekretaris PD IJABI Temanggung
- Anggota Gusdurian Temanggung
- Mahasiswa Ilmu Komunikasi - UT Yogyakarta