Hadis Rantai Emas dalam Peringatan Maulid Imam Ali bin Musa al-Ridha (A.S.)

Dalam perjalanan Imam Ali bin Musa al-Ridha (A.S.) menuju Khurasan, beliau singgah di kota Merv. Masyarakat telah berkumpul menanti kedatangannya. Kabar pengangkatan beliau sebagai putra mahkota oleh Khalifah Ma’mun telah tersebar lebih dulu. Namun, yang lebih menggugah hati umat bukan sekadar status politik itu, melainkan karena beliau adalah bagian dari Ahlulbait Rasulullah (S.A.W.)—keluarga suci yang diwarisi ilmu, keteladanan, dan kewajiban untuk ditaati.
Muhammad bin Abu Sa‘id al-Wazzan, dalam A‘yan al-Syi‘ah yang mengutip Tarikh Nishapur, meriwayatkan bahwa saat Imam al-Ridha (A.S.) memasuki kota Nishapur, beliau berada dalam sebuah kubah tertutup di atas kuda putih yang anggun. Penduduk kota menyambutnya dengan kekaguman. Imam hadir bukan sekadar sebagai tokoh istana, melainkan sebagai sumber ilmu, cahaya petunjuk, dan hujjah Allah di muka bumi.
Di tengah keramaian, dua imam besar—Abu Zar‘ah al-Razi dan Muhammad bin Aslam al-Tusi—bersama para penuntut ilmu dan ulama, mendekat. Mereka memohon, “Wahai Tuan mulia, putra para Imam suci, tunjukkanlah wajahmu yang penuh berkah, dan sampaikanlah kepada kami satu hadis dari leluhurmu yang mulia, dari kakekmu Rasulullah (S.A.W.).”
Dengan kelembutan dan wibawa, Imam al-Ridha (A.S.) menghentikan kendaraannya dan memerintahkan agar penutup kubah dibuka. Wajah bercahaya beliau tampak; rambut panjang menjuntai di pundaknya. Orang-orang berdiri dalam haru, sebagian menangis, mencium kaki kuda, bahkan ada yang terjatuh karena takjub. Para ulama pun menenangkan mereka seraya berkata, “Wahai manusia, dengarkanlah! Jangan biarkan tangisan dan sorakan menghalangi kalian dari menerima ilmu yang bermanfaat!”
Lalu Imam berkata dengan suara penuh hikmah:
“Telah mengabarkan kepadaku ayahku, Musa al-Kadhim, dari ayahnya Ja‘far al-Shadiq, dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zain al-‘Abidin, dari ayahnya al-Husain, syahid Karbala, dari ayahnya Ali bin Abi Thalib, yang berkata: Telah mengabarkan kepadaku kekasihku Rasulullah (S.A.W.), dari Jibril (A.S.), bahwa ia mendengar langsung dari Allah Yang Mahaagung:
“Lâ ilâha illallâh adalah benteng-Ku. Siapa yang mengucapkannya, ia telah masuk ke dalam benteng-Ku. Dan siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, akan aman dari azab-Ku.”
Kemudian Imam menambahkan kalimat yang menjadi kunci penting dalam hadis ini:
“Dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu syaratnya.”
Artinya, keselamatan dalam tauhid tidak cukup hanya dengan pengucapan, tetapi juga harus disertai dengan pengakuan terhadap keimaman. Sebab dalam pandangan Ahlulbait, tauhid dan imamah adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Allah bukan hanya ditauhidkan, tetapi juga ditaati melalui utusan dan pewaris yang telah ditunjuk-Nya.
Hadis ini kemudian dikenal dengan nama Hadis Silsilah al-Dzahab (Hadis Rantai Emas), karena seluruh mata rantai sanadnya terdiri dari pribadi-pribadi suci, mulai dari Allah, Jibril (A.S.), Rasulullah (S.A.W.), hingga para Imam dari Ahlulbait. Para ulama menyebutnya sebagai salah satu hadis paling sahih dan paling agung dalam khazanah Islam. Abu Nu‘aim al-Asfahani dalam Hilyat al-Awliya’ menyebutkan bahwa hadis ini sangat masyhur dan sahih. Bahkan seorang ulama pernah berkata, “Jika hadis ini dibacakan kepada orang yang tidak waras, ia akan menjadi sadar.”
Dalam Kashf al-Ghummah juga diceritakan bahwa seorang penguasa Dinasti Samanid menuliskan hadis ini dengan emas dan mewasiatkan agar tulisan itu dikuburkan bersamanya. Ketika ia dilihat dalam mimpi, dan ditanya tentang nasibnya, ia menjawab, “Allah mengampuniku karena aku mengucapkan La ilaha illallah dengan ikhlas dan menuliskan hadis itu sebagai bentuk penghormatan.”
Al-Shaykh al-Shaduq (R.A.) dalam banyak karyanya menekankan kalimat penting ini, “Dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah salah satu syaratnya,” sebagai penegasan bahwa tauhid sejati harus melalui jalur yang benar—yakni jalur yang diwariskan Rasulullah (S.A.W.) kepada Ahlulbait-nya.

Tauhid: Inti Ajaran, Tapi Harus dari Jalan yang Sahih
Tauhid adalah puncak dari segala pencarian ruhani. Ia bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi cahaya yang menuntun akal, hati, dan perbuatan menuju satu arah: La ilaha illallah. Namun untuk sampai ke puncak itu, manusia butuh jalan. Dan jalan itu tak pernah kosong dari penunjuk.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat: Kitabullah dan ‘itrahku, Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga menemui aku di telaga (haudh).”
— (HR. Tirmidzi, Hasan Shahih)
Ahlulbait bukan hanya pewaris darah Nabi, tapi juga pewaris ilmunya. Mereka adalah ahludz dzikr—orang-orang yang kepadanya Allah memerintahkan kita bertanya bila tak tahu.
“Maka bertanyalah kepada ahlul dzikr jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Imam Ali bin Abi Thalib (A.S.), putra Abu Thalib, adalah pintu ilmu. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Maka siapa yang menginginkan ilmu, hendaklah masuk melalui pintunya.”
— (HR. Al-Hakim, At-Tirmidzi)
Dan dari generasi ke generasi, cahaya tauhid dijaga oleh mereka yang suci: Fatimah Az-Zahra, Hasan dan Husein, hingga para Imam keturunan mereka. Ilmu mereka bukan hasil bacaan atau debat, melainkan limpahan dari nur kenabian. Mereka adalah saksi hidup akan bagaimana tauhid diterjemahkan dalam keadilan, kasih sayang, dan pengorbanan.
Imam Ja’far Ash-Shadiq (A.S.) berkata:
‘Sesungguhnya agama Allah yang Maha Agung tidak bisa dicapai dengan akal-akalan yang terbatas, pendapat yang batil, dan ukuran yang rusak. Agama Allah hanya dapat dicapai dengan penyerahan diri. Barang siapa yang menyerahkan diri kepada kami, maka ia akan selamat. Barang siapa yang mengikuti kami, ia akan mendapatkan petunjuk. Barang siapa yang beramal dengan qiyas dan pendapat, maka ia akan binasa. Dan barang siapa yang merasa kesulitan dalam hatinya terhadap apa yang kami ucapkan atau putuskan, maka ia telah kufur kepada-Nya yang menurunkan al-Sab’ al-Mathani dan Al-Qur’an yang agung, padahal ia tidak mengetahui. (Kamal al-Din wa Tamam al-Ni’mah) karya al-Syekh al-Jalil al-Aqdam al-Saduq, halaman 352)
Maka siapa yang ingin mengenal tauhid bukan sebagai wacana, tapi sebagai jalan hidup yang bercahaya, hendaknya ia menapaki jejak Ahlulbait. Karena bersama mereka, tauhid menjadi nyata; bukan hanya dalam kata, tapi dalam cinta, perjuangan, dan penghambaan. Dalam konteks ini Imam Ridha mengatakan “dengan syarat dan ketentuannya. Aku (Berwali kepadaku) merupakan bagian dari syarat itu.”
Penutup
Peringatan Maulid Imam Ali bin Musa al-Ridha (A.S.) mengingatkan kita bukan hanya tentang kelahiran seorang tokoh agung, tapi juga tentang warisan tauhid yang benar. Warisan itu bersambung dalam rantai emas yang tak terputus—dari Allah, kepada Nabi-Nya, lalu kepada Ahlulbait.
Dan keselamatan dari api neraka itu bukan hanya karena ucapan, tapi karena mengikuti jalan yang lurus: jalan yang ditunjukkan oleh mereka yang telah Allah sucikan.

Terima kasih Ust Fajar. Ditunggu tulisan-tulisan hikmah selanjutnya.