Rukun Iman dan Rukun Islam: Rumusan yang Tidak Tunggal

Oleh K.H. Fajruddin Muchtar, Lc. (Ketua Departemen Dakwah dan Seni Budaya PP IJABI)
“Syiah itu bukan Islam dan kafir karena rukun iman dan rukun Islamnya saja berbeda.”
Kalimat seperti ini seringkali muncul dalam diskusi seputar Syiah. Namun, jika ditimbang dengan neraca ilmu dan objektivitas, pernyataan tersebut jelas keliru. Sayangnya, sikap seperti ini tumbuh subur, terutama di lahan yang bernama kejahilan, dan disirami oleh fanatisme buta.
Sejak kecil, mayoritas umat Islam hanya dikenalkan bahwa rukun iman itu enam dan rukun Islam itu lima. Kita menghafalnya secara urut karena itulah yang diajarkan secara resmi di sekolah, masjid, hingga buku pelajaran agama. Namun, seiring bertambahnya wawasan dan kedalaman kajian, muncul pertanyaan penting: Apakah rumusan itu bersifat baku? Apakah enam dan lima itu satu-satunya cara Nabi Muhammad menjelaskan inti ajaran Islam?
Faktanya, tidak. Rumusan enam rukun iman dan lima rukun Islam yang kita kenal sekarang adalah hasil kodifikasi ajaran Islam secara sistematis oleh para ulama, terutama sejak masa tabi’in dan setelahnya. Misalnya, hadis Jibril yang terkenal (diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya) memang memuat pengajaran tentang iman, Islam, dan ihsan, tapi Nabi sendiri tidak pernah mengatakan bahwa “rukun Islam harus lima” atau “rukun iman harus enam.” Bahkan dalam riwayat-riwayat lain, urutan dan cakupannya bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks pertanyaan dan audiensnya.
Berbagai mazhab dan aliran dalam Islam juga bisa merumuskan ulang pokok-pokok keimanan dan keislaman berdasarkan kerangka teologi mereka. Dalam Syiah Imamiyah, misalnya, dikenal istilah Ushuluddin (pokok-pokok agama) yang terdiri dari lima: Tauhid, ‘Adl (keadilan), Nubuwwah, Imamah, dan Ma’ad (hari kebangkitan). Ini bukan karena mereka mengingkari Islam, tetapi karena kerangka berpikir teologinya memang berbeda dengan Sunni.
Oleh karena itu, kita perlu menanamkan sikap ilmiah dan adil dalam menilai perbedaan—bahwa substansi ajaranlah yang menjadi inti, bukan sekadar jumlah atau urutan. Mereduksi keislaman seseorang hanya karena berbeda dalam formulasi, tanpa menelusuri substansi keyakinannya, adalah bentuk penyederhanaan yang berbahaya dan bertentangan dengan semangat ilmu.
Dialog Jibril: Sebagai Awal, Bukan Akhir
Rumusan enam rukun iman dan lima rukun Islam bersumber dari Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Diceritakan bahwa malaikat Jibril datang kepada Nabi dalam rupa manusia dan bertanya tentang iman dan Islam. Rasulullah menjawab:
“أن تؤمن بالله وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، وبالقدر خيره وشره”
Namun penting dicatat, Rasulullah ﷺ tidak pernah menyatakan bahwa ini adalah satu-satunya rumusan resmi atau baku. Banyak hadis lain menjelaskan tentang iman yang tidak dimasukkan dalam formula ini. Misalnya, tentang berlaku adil, menjaga kebersihan, dan rasa malu yang juga disebut sebagai bagian dari iman namun tidak tercantum dalam rumusan enam tersebut.
Kata “rukun” sendiri bahkan tidak muncul dalam hadis tersebut. Enam rukun iman dan lima rukun Islam adalah hasil ijtihad dan sistematisasi ulama, untuk memudahkan proses pengajaran dasar-dasar Islam kepada umat. Rumusan ini adalah permulaan, bukan formula final yang membatasi keberagaman ekspresi keimanan dan praktik keislaman.
Ketidakbakuan formula itu juga ditegaskan oleh Al-Qur’an yang memberikan ruang bagi penafsiran yang fleksibel. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 177, Allah berfirman:
“لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ…”
“Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi…” (QS. Al-Baqarah: 177)
Dalam ayat ini, unsur iman bercampur dengan amal, menunjukkan bahwa pemisahan kaku antara rukun iman dan Islam bukan bagian dari struktur Al-Qur’an.
Perbedaan Rumusan dalam Mazhab dan Pemikiran Islam
Jika kita mempelajari berbagai pandangan dalam Islam, akan ditemukan banyak perbedaan dalam jumlah dan formula rukun iman. Sebagian ulama menyebut rukun iman hanya lima (al-usul al-khamsah), bukan enam.
Salah satunya adalah Ibnul Qayyim. Ia menulis:
“…ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Jenis pertama adalah ilmu tentang rukun iman yang lima, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Siapa yang tidak beriman dengan lima perkara ini, belum masuk ke dalam pintu keimanan, dan tidak berhak mendapat status mukmin.” (Miftah Daaris Sa’adah, 1:156)
Dalam Ighatsatul Lahfan ia juga menyatakan:
“…iman kepada malaikat adalah satu dari lima pokok rukun iman: Allah, malaikat, kitab, rasul, dan hari akhir.” (Ighatsatul Lahfan, 2:131)
Ia tidak mencantumkan iman kepada takdir karena menurutnya itu termasuk dalam iman kepada Allah, sebagai bentuk keyakinan terhadap kehendak dan perbuatan-Nya.
Ulama lain, seperti Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi, juga menyebut:
“Nabi ﷺ menafsirkan Islam dengan amal-amal lahiriah, dan iman dengan keimanan terhadap pokok yang lima.” (Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 145)
Sedangkan Muhammad Abduh menyederhanakan rukun iman menjadi dua: iman kepada Allah dan Hari Akhir. Menurut penjelasan Prof. Quraish Shihab:
“Syaikh Muhammad Abduh berkata bahwa rukun iman yang terpenting ada dua, yakni percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Perinciannya: karena Hari Kemudian tidak dapat diterima oleh akal kecuali melalui utusan Allah (rasul), maka kita juga harus beriman kepada Rasul. Rasul menyampaikan dari malaikat, maka kita perlu juga beriman kepada malaikat.”
Dari sini terlihat bahwa elemen lain adalah turunan dari dua pilar utama tersebut.
Ragam Formulasi: Tabel Perbandingan
Tradisi / Mazhab | Rukun Iman | Catatan |
Sunni (umum) | 6 poin | Berdasarkan Hadis Jibril |
Ibnul Qayyim | 5 poin | Takdir bagian dari iman kepada Allah |
Muhammad Abduh | 2 poin | Rasionalisasi keimanan |
Syiah Imamiyah | 5 ushuluddin | Salat dan zakat masuk furu’uddin |
Mu’tazilah | 5 prinsip utama | Bukan berdasarkan Hadis Jibril |
Syaikh Hasan Farhan Al-Maliki juga mengkritik kecenderungan menyederhanakan iman menjadi angka-angka. Ia menegaskan bahwa istilah “rukun iman” dan “rukun Islam” tidak diwariskan langsung dari Nabi, melainkan produk klasifikasi ulama untuk memudahkan pendidikan.
Penutup: Fokus pada Substansi, Bukan Hitungan
Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada satu formulasi tunggal yang secara eksplisit ditetapkan oleh Nabi Muhammad sebagai rumusan final tentang rukun iman dan Islam. Yang kita warisi adalah hasil pemahaman para ulama, sesuai konteks dan kebutuhan zamannya.
Rukun iman dan Islam adalah peta besar yang dibuat berdasarkan penghayatan terhadap Al-Qur’an dan sabda Nabi. Fokuslah pada makna dan substansi, bukan sekadar bilangan. Jangan sibuk menghitung tiang rumah, tapi lupa memasuki rumah itu sendiri. Jangan pula menjelekkan dan berusaha merusak tiang rumah orang lain hanya karena catnya tidak sama dengan rumah kita.
Referensi:
- https://muslim.or.id/47685-rukun-iman-antara-lima-atau-enam.html
- https://jateng.nu.or.id/keislaman/rukun-islam-ynMTl
- https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/s13-berita/srukun-iman-syiah-berbeda/
- https://www.islamtimes.com/id/article/194923/rukun-iman-dan-islam-produk-interpretasi-sektarian-atau-dogma-final
- https://gusdur.net/rukun-iman-rukun-islam-dan-rukun-tetangga/
- https://www.islamsyiah.com/2021/11/rukun-iman-dan-rukun-islam-syiah.html

terima kasih pencerahannya.