
Belakangan, setelah kedua orangtua berpulang ke rahmatullah, saya merasa menjadi sosok yang lebih melankolis. Mudah mellow kata anak zaman sekarang. Saya teringat almarhumah Ibu saya yang pada tahun-tahun terakhirnya, karena mengidap gagal ginjal, setiap kali berjumpa dengan orang lain selalu menitikkan air mata dan mengulang-ulang kata: terima kasih, maafkan Ibu ya. Bahkan pada kami, anak-anak beliau. Padahal, tak ada sejumput pun kebaikan kami untuknya. Ibarat sebutir debu di bukit kebaikannya. Seperti setetes air di samudera kedermawanannya. Ibu saya selalu memandang setiap pertemuan adalah karunia. Dalam bahasa Martin Buber, sebuah begegnung dan bukan vergegnung. Bukan perjumpaan biasa, melainkan pertemuan dua jiwa. Masing-masing saling mengubah. Bukan sekadar bertutur sapa, melainkan berpengaruh pada kehidupan kita setelahnya. Bagi Ibu saya, setiap perjumpaan dapat menjadi yang terakhir kali. Dan bukankah mestinya demikian kita setiap saat memahaminya?
Dan setelah kehilangan besar, ditinggalkan oleh kedua orangtua dalam jarak waktu empat hari, persepsi saya melihat para sesepuh berubah. Bukan hanya pada mereka yang lebih tua, melainkan juga pada setiap tokoh agama. Betapa sering dunia memberikan pada kita cerita, tapi yang kita lihat hanya tampak depannya. Kita tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Begitu banyak pengorbanan dan perjuangan untuk menampilkan satu sendratari berdurasi satu jam misalnya. Begitu banyak peluh dan keringat untuk 90 menit pertandingan final sepak bola.
Saya menulis berangkat dari pengalaman pribadi untuk menyambut kedatangan Sri Paus Fransiskus ke Indonesia. Kunjungan bersejarah ini tidak dapat kita lihat hanya dari luarannya saja. Beliau bukan sekadar tokoh agama, lebih dari itu beliau adalah seorang manusia hamba Tuhan yang telah menempuh perjalanan hidup begitu kayanya. Mulai dari ragam pekerjaan di masa muda, hingga menghadapi sakit yang berat, lalu memilih jalan khidmat mengabdi pada Tuhan dengan berbakti pada sesama. Perhatian beliau yang besar pada kaum papa dan terpinggirkan. Dalam beberapa isu, kepedulian beliau pada kesetaraan perempuan terutama dalam khidmat keagamaan, pendekatan yang humanis pada permasalahan kaum muda, hingga pandangan kritis beliau pada sistem kapitalisme dan konsumerisme adalah contoh bagi kita semua.

Sri Paus dan Kepedulian Teologi-Ekologis.
Beliau juga lantang meneriakkan isu ‘climate change dan global warming’. Bahkan, dalam beberapa pesan natal beliau kepedulian ekologis ini mengemuka. Laudate Deum, anjuran apostolik beliau pada 4 Oktober 2023, mengangkat masalah multidimensional berkaitan dengan krisis ekologis. Beliau menyeru semua pihak untuk melakukan aksi-aksi nyata demi menyelamatkan planet bumi. Sri Paus memberikan pendasaran teologis berbasis pada Kitab Kejadian bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan Tuhan itu baik adanya. Kalimat paling akhir pada Anjuran Apostolik Laudato Deum nomor 73 ini berbunyi: Pujilah Allah, barang siapa merasa diri berhak menggantikan posisi Allah di dunia ini, dia sedang berada dalam keadaan bahaya. Menurut Sri Paus, proses degradasi lingkungan akan berdampak pada degradasi kehidupan. Manusia tidak berhak mengeksploitasi alam secara liar, apalagi dengan mengabaikan konsekuensinya pada alam, pada orang-orang miskin dan masyarakat adat.
Hal ini sebenarnya sangat berkeseuaian dengan Al-Qur’an. Ketika Allah Swt hendak menciptakan Nabi Adam as, Al-Qur’an mengisahkan, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Bila Sri Paus menggunakan bahasa ‘menggantikan posisi Allah di dunia’, Islam mengistilahkannya dengan khalifah Tuhan di muka bumi. Bagi Sri Paus, mungkin saya keliru, bila seseorang merasa sebagai khalifah Tuhan, ia berada dalam keadaan yang bahaya (karena memposisikan diri punya kuasa yang ‘setara’ dengan Tuhan dan dapat berbuat seenak hatinya). Islam justru menekankan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Kata khalifah bisa pula dimaknai dengan ‘yang keberadaannya mengingatkan pada Tuhan’. Mungkin kata pengganti tidak sepenuhnya tepat dalam hal ini.
Akan tetapi, ada dua syarat besar menjadi khalifah Tuhan itu. ‘Keberatan’ para malaikat dalam kisah Nabi Adam as itu menyebutkannya. Pertama, manusia tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi. Fasad, bahasa Arabnya untuk kerusakan dilawankan dengan maslahat, segala bentuk kebaikan. Termasuk fasad adalah segala bentuk mukaddimah untuk kerusakan bumi. Ia ‘larangan’ malakuti yang pertama. Tidak boleh merusak bumi dan mukaddimahnya. Artinya, membuang sampah tidak pada tempatnya jatuh pada pelanggaran sifat khalifah Tuhan ini. Pesan ekologis Sri Paus menggaungkan pesan pertama dalam penciptaan manusia menurut Al-Qur’an.

Sri Paus dan Palestina.
Keberatan malaikat yang kedua dalam kisah penciptaan Nabi Adam as menurut al-Qur’an adalah menumpahkan darah di muka bumi. Menarik bahwa proses perusakan bumi disebut yang pertama, karena keserakahan manusia akan kuasa, materi dan sumber daya akan berujung pada tumpahnya darah sesama. Karena itu, kesadaran akan kepedulian ekologis yang merupakan kewajiban teologis sebagaimana digaungkan Sri Paus menjadi sangat relevan.
Dalam perspektif para malaikat ini, kita melihat isu mutakhir pertumpahan darah di muka bumi: apa yang sedang terjadi di bumi Palestina. Sri Paus mendukung solusi dua negara. Ia juga menyerukan gencatan senjata segera. Ia mendorong agar para tawanan dibebaskan, dan kedua bangsa dapat hidup berdampingan. Dalam konteks ini, seruan Sri Paus perlu disambut berbagai tokoh agama lainnya. Tentu ada perbedaan sudut pandang pada solusi. Sebagian memandang solusi dua negara adalah solusi yang tidak aplikatif dan menafikan sejarah panjang terusirnya bangsa Palestina sejak 15 Mei 1948. Nevertheless, perlu ditemukan jalan tengah memediasi masalah ini. Dan Sri Paus beserta Gereja Katolik punya peranan yang sangat besar untuk itu. Sebagaimana Sri Paus bertemu dengan perwakilan keluarga yang tertawan baik dari pihak Israel maupun Palestina. Ini langkah yang perlu digemakan oleh para tokoh baik politik maupun agama. Menyasar pada korban. Berbicara dengan rakyat yang adalah pelaku utama yang terdampak oleh kebijakan keputusan para elit di atas meja mereka. Saya kira Sri Paus dan Gereja Katolik dapat menginisiasi pertemuan para tokoh agama dunia untuk menyampaikan suara bersama tentang dua hal ini: kepedulian teologisekologis dan nasib umat manusia khususnya di tengah tragedi kemanusiaan di Palestina.
Akhirnya, selamat datang Sri Paus. Selamat datang di Indonesia. Kedatangan yang teramat berharga. Seperti almarhumah Ibu, saya akan memandang kedatangan Sri Paus bukan sekadar kedatangan seorang tokoh agama. Saya akan memandang melintasi itu. Saya melihatnya sebagai kedatangan kearifan yang terbentuk oleh pengalaman panjang 83 tahun dinamika kehidupan. Saya akan menilainya sebagai vergegnung, pertemuan yang mengubah. Saya melihatnya sebagai berkah seorang manusia yang berusaha untuk berkhidmat pada ciptaan Sang Pencipta. Berusaha untuk membahagiakan mereka dan melepaskan dari belenggu derita. Dan seperti almarhumah Ibunda, saya akan ucapkan terima kasih untuk setiap pengabdian. Teriring doa semoga Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa memperbanyak yang semisal beliau. Dan saya akan menitikkan air mata seraya berkata: semoga tidak jadi kunjungan yang terakhir. Semoga tidak jadi kesempatan terakhir menebar benih kebaikan di muka bumi Tuhan ini. Semoga terjawab keberatan para malaikat. Di muka bumi ini masih banyak umat Tuhan yang berjuang memelihara bumi, dan berjuang untuk menahan tumpahnya darah sesama. Deus Providebit! Semoga.
