Khazanah

Satu Langkah Kecil dalam Qurban, Lompatan Besar dalam Kemanusiaan

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Ali Sayyidina Muhammad

One small step for a man, one giant leap for a mankind. Kalimat ini pernah populer diucapkan oleh Neil Armstrong ketika menjejakkan kaki di bulan. Satu langkah kecil seorang manusia, satu lompatan besar umat manusia. Terlepas dari kontroversi pendaratan di bulan itu, kalimat ini punya makna ganda. Setiap kalimat selalu terbuka diberi makna.

Penemuan penisilin, eureka Archimides, buah apelnya Isaac Newton… semua adalah contoh ‘peristiwa kecil’. Tetapi sesungguhnya bersama peristiwa kecil itu ada rentang perjalanan yang sangat panjang. Satu langkah kecil itu merupakan lompatan besar. Kesederhanaan itu adalah sebuah kompleksitas yang lebih dalam.

Di sisi lain, langkah setiap orang tidak sama. Kita tidak bisa mengukur dalam dan panjangnya. Ayunan kaki bayi lebih pendek. Jejak kaki orang dewasa lebih dalam. Semua bertahap. Baik menurut usia ataupun kemampuan.

iklan

Kita tidak bisa berkata ini sederhana, ini rumit. Ini mudah itu sulit. Jendela peluang setiap orang berbeda. Bahasa Inggris dan coding mudah bagi Gen Z, tapi sulit bagi Boomers. Bahasa Arab mudah bagi sebagian santri, boleh jadi sulit bagi yang lainnya.

Dalam taksonominya, Bloom membagi tahapan high order thinking skills: knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis dan evaluation.

Dalam penggunaan yang berbeda, al-Qur’an juga menyebutkan beberapa fungsi dan tujuan karunia manusiawi itu. Misalnya dengan varian kata: la’allakum ta’qilun, tafqahun, tatafakkarun, tatadzzakarun, ta’lamun, tadrusun, tasy’urun…yarsyudun dan sebagainya. Terjemahan sementara: agar kalian menggunakan akal kalian, memahami, memikirkan, mengambil peringatan, mengetahui, mempelajari, menyadari…memperoleh petunjuk dan semisalnya. Dalam Bahasa Indonesia masih ada kata merenungi, mendalami, menalar, memperhatikan dan sebagainya.

Bagi saya, seluruh kemampuan olah rasa, pikir dan nalar itu menemukan gunung esnya pada bercerita. Demikian saya memaknai ‘bayan’.  علمه البيان pada surat Ar-Rahman : 4 yang diterjemahkan dengan “Mengajarnya pandai berbicara” ini adalah tentang bercerita. Pada cerita ada gabungan seluruh olah rasa, pikir dan nalar itu. Mengapa? Karena penyampai akan memperhatikan masing-masing kemampuan para pendengarnya, dengan ragam tingkat pemahaman dan pengetahuan yang berbeda. Juga pengalaman hidup yang membentuknya.

Saya misalnya memahami bahwa ‘bahasa kaum’ bukan sekadar pemilihan kata dan struktur gramatika. Melainkan juga tentang memahami rasa dan kadar pengetahuan untuk mengolahnya.

Al-Quran mengingatkan: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ibrahim [14]:4)

Dalam hadits yang disepakati kedua mazhab,

امرنا ان نكلم الناس على قدر عقولهم

Kami (para nabi) diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai kadar akal mereka. Hadits dapat dirujuk pada Mizanul Hikmah 1:550, al-Bihar 25: 384 dengan perbedaan an nukhathiba pada nukallima dan Abu al-Hasan at-Tamimi dalam Kitab al-‘Aql dengan riwayat dari Ibnu Abbas ra atau al-Hafizh Dhiyauddin dalam al-Mukhtarah. Meski beberapa muhaddits Ahlus Sunnah menyebut hadits ini dhaif bahkan mawdhu’, Imam Muslim menulis dalam Mukaddimah beliau riwayat Ibnu Mas’ud: janganlah engkau berbicara dengan satu kaum satu pembicaraan yang akal mereka tidak sampai kepadanya. Karena yang demikian itu akan menjadi fitnah untuk sebagian lainnya.

Imam Bukhari dan al-Hakim an-Nisyaburi mengingatkan pentingnya menyampaikan sesuatu yang tidak memberatkan dan memayahkan penerimanya. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata: sekiranya Muhammad bin al-Hasan berbicara dengan kita sesuai kadar akalnya, tidak ada seorang pun dari kita yang memahaminya. Ia berbicara dengan kita sesuai kadar akal kita, agar kita memahaminya.

Saya hanya bisa meraba samar bahwa persentase jumlah ayat al-Quran tentang cerita yang lebih banyak dari ayat hukum barangkali justru sedang berusaha untuk menyampaikan puncak dari upaya penalaran itu. 63 dari 114 surat berisi cerita. Sedikitnya ada 208 ragam kisahnya. Adalah keindahan dan misteri tersendiri untuk menyelaminya. Apakah dalam kisah itu ada perintah, ataukah keteladanan yang bersumber dari penalaran terhadap ragam dan tingkatan pengetahuan itu.

Beberapa waktu yang lalu ada yang bertanya pada saya, bagaimana hukumnya berziarah pada al-Ma’shumin as. Saya jawab mungkin tidak secara tegas dijelaskan masuk dalam jenis hukum taklif karena kekhawatiran memberatkan. Haji juga ada keterangan bagi yang memiliki kemampuan, apa pun itu. Namun, bagi saya ada yang disebut dengan adab. Ibarat lebaran kita tidak ‘nyekar’ ke makam orangtua. Ada yang hilang, ada yang kurang.

Nah, di antara kisah itu adalah tentang pengorbanan. Tentang penyembelihan yang dilakukan Nabiyullah Ibrahim as dan pengorbanan kedua putra Nabiyullah Adam as. Apakah wajib berkurban itu? Apakah ada syarat kemampuan dan sebagainya? Tidak secara jelas ditegaskan. Ia kembali pada kemampuan nalar kita untuk mencernanya. Ia mengarahkan kita pada posisi bagaimana menempatkan diri di hadapan karunia Tuhan itu. Apakah kita berkurban seekor kambing, berpartisipasi bersama dalam kurban kolektif, atau seekor sapi… atau memilih untuk menyalurkan donasi pada saudara yang menderita, semua diserahkan pada kita.

Dan dua hari lalu, seorang khadim dari Haram Imam Ridha as mengirimkan saya gambar. Foto yang diambilnya di jalanan. Seorang sepuh berjalan tertatih dengan tongkat, sementara di belakangnya ada anak muda yang melangkah dengan mudahnya. Ia memberi caption pada foto itu: satu langkah yang mudah bagi seseorang, adalah satu langkah yang sulit bagi yang lainnya. Kita dapat memaknainya beragam. Kita dapat memaknai bahwa mungkin kita terbiasa dengan makanan yang ada, sedangkan banyak saudara kita yang tak sempat berhari raya. Mungkin bagi kita makan daging itu mudah saja, tapi bagi yang lainnya adalah ‘pesta’ yang ditunggui dan disyukuri hadirnya.

*) Judul tulisan disematkan oleh Redaksi Majulah IJABI

KH. Miftah Fauzi Rakhmat
Ketua Dewan Syuro IJABI |  + posts
Iklan

2 Komen

  1. Alhamdulillah dapat pencerahan, sehat selalu yai, bihaqqi Muhammad wa Aali Muhammad. Allohumma sholly alaa sayyidina Muhammad wa Aali sayyidina Muhammad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berkaitan

Back to top button