
oleh Abdul Karim
Jum’at, 20 Juni 2025
“The global Cold War was driven not primarily by security concerns or ideology, but by the need to preserve the international system that underpinned American economic and political dominance.”— Odd Arne Westad
Pernyataan resmi negara-negara G7 yang menuding Iran sebagai sumber utama ketidakstabilan Timur Tengah dan sekaligus menyatakan dukungan penuh terhadap “hak Israel untuk membela diri” tidak hanya mencerminkan kemunafikan politik kelas tinggi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana wacana global terus dikendalikan oleh narasi hegemonik yang menutup rapat-rapat sejarah panjang kolonialisme, penjajahan, dan penindasan yang justru disokong oleh negara-negara itu sendiri. Dalam lanskap geopolitik dunia yang sedang bergolak, deklarasi G7 di Brussels bukanlah seruan untuk perdamaian, melainkan konfirmasi atas keberpihakan struktural pada kekuatan yang selama puluhan tahun mempraktikkan apartheid, etnosida, dan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina serta agresi terbuka terhadap berbagai negara Muslim di sekitarnya, termasuk Iran.
Odd Arne Westad dengan telak membongkar akar dari manuver seperti ini dalam The Global Cold War, bahwa politik luar negeri negara-negara besar tidak pernah benar-benar digerakkan oleh ketakutan terhadap ideologi atau kebutuhan objektif keamanan, melainkan oleh logika mempertahankan sistem internasional yang menopang dominasi politik dan ekonomi mereka. Ketika G7 menyebut Iran sebagai sumber teror dan instabilitas, mereka sesungguhnya sedang menciptakan kembali narasi lama yang selalu menempatkan aktor non-Barat sebagai ancaman eksistensial, sembari mengabaikan kenyataan bahwa Israel-lah yang selama ini menjadi episentrum kekacauan, penjajahan, dan pelanggaran HAM paling sistematis di kawasan.
Kita tidak bisa membaca pernyataan G7 secara netral. Di balik jargon gencatan senjata dan kekhawatiran terhadap eskalasi, terdapat kalkulasi kekuasaan yang sangat cermat. G7 tidak sedang berupaya meredakan konflik, mereka sedang mengatur ulang panggung kekerasan agar tetap berada dalam kendali sistem dominasi yang lebih besar. Iran dianggap melampaui batas bukan karena kekuatan militernya atau kebijakan regionalnya, tetapi karena ia menolak tunduk pada logika imperialisme global yang dibungkus dalam retorika “demokrasi” dan “hak asasi manusia”. Iran menjadi ancaman karena ia—dengan segala kompleksitas dan kontradiksinya—mewakili perlawanan terhadap unipolaritas yang sudah lama dikukuhkan Barat sejak akhir Perang Dingin.

Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent menjelaskan secara gamblang bagaimana sistem media dan opini publik di negara-negara demokrasi liberal tidak benar-benar bebas, tetapi justru berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan, melalui penyaringan informasi dan manipulasi narasi. Pernyataan G7 yang disambut media Barat dengan gegap gempita sebagai “komitmen terhadap stabilitas” hanyalah manifestasi lain dari proses fabrikasi persetujuan publik (manufactured consent) agar masyarakat dunia menerima Israel sebagai korban yang berhak membela diri, bukan sebagai pelaku penjajahan yang brutal dan sistematis.
Mari kita lihat dengan jujur, siapa yang memulai eskalasi ini? Apakah Iran yang menyerang Tel Aviv lebih dulu, ataukah Israel yang melepaskan bom ke wilayah Teheran dan membunuh warga sipil, ilmuwan, dan komandan militer Iran? Apakah Iran yang menjarah tanah orang lain, membangun permukiman ilegal, dan membombardir Gaza tanpa pandang bulu selama berbulan-bulan terakhir? Tetapi logika dominasi tidak membutuhkan kejujuran historis. Ia hanya membutuhkan satu hal: konsensus palsu bahwa “musuh kita” adalah mereka yang menolak tunduk.
Bahkan istilah “provokatif” yang disematkan kepada Iran dalam pernyataan G7 sarat dengan pembalikan logika. Seolah-olah setiap tindakan pembelaan Iran terhadap serangan militer Israel merupakan ancaman bagi perdamaian dunia, padahal seluruh hukum internasional mengakui hak membela diri atas agresi luar. Namun, sebagaimana dikatakan Chomsky, hukum internasional hanya berlaku terhadap musuh, bukan terhadap sekutu. Inilah hipokrisi internasional yang tak pernah bisa ditutupi oleh diplomasi formal.
G7 juga mengangkat isu nuklir Iran sebagai alasan keprihatinan mereka. Klaim bahwa “Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir dalam kondisi apa pun” menunjukkan ironi yang luar biasa ketika datang dari negara-negara yang bukan hanya memiliki ribuan hulu ledak nuklir, tetapi juga melindungi Israel—satu-satunya entitas di kawasan yang terbukti memiliki senjata nuklir—dari pengawasan dan tekanan internasional. Ini bukan sekadar standar ganda. Ini adalah kemunafikan geopolitik yang telanjang.

Jika kita kembali pada Westad, kita menemukan benang merah yang menghubungkan posisi G7 dengan sejarah panjang intervensi Barat di Dunia Ketiga. Dalam logika Perang Dingin, kekuatan besar selalu berusaha menekan setiap upaya kemandirian politik dan ekonomi di luar orbit mereka. Kini, dalam era yang disebut post-Cold War, pola itu tidak berubah. Iran hari ini tidak sedang dihukum karena mengancam stabilitas, melainkan karena berani tidak tunduk—sebagaimana Vietnam, Kuba, atau bahkan Indonesia pada masa-masa tertentu. Semua negara yang mencoba berdiri di luar tatanan hegemonik global akan mengalami nasib yang sama: dijadikan target demonisasi, diberi sanksi, dan ketika perlu, dijadikan sasaran rudal.
Sikap Presiden Donald Trump dalam KTT tersebut semakin memperjelas bahwa seluruh pertunjukan ini bukan tentang keadilan atau perdamaian, tetapi tentang pengaturan ulang aliansi untuk mempertahankan dominasi. Trump yang enggan menandatangani dokumen deeskalasi penuh, tetapi menginstruksikan evakuasi warga negaranya dari Iran, sedang memainkan taktik klasik realisme brutal: menjaga posisi tawar dengan ancaman kekerasan sembari berpura-pura netral. Sikap ini sejalan dengan strategi unipolaritas Amerika pasca-Soviet, yang menurut Westad bertujuan untuk mempertahankan status quo global demi keuntungan ekonomi dan kontrol strategis atas wilayah-wilayah vital.
Bagi dunia Muslim, pernyataan G7 ini menjadi momen reflektif yang krusial. Apakah kita akan terus membiarkan diri terperangkap dalam narasi palsu tentang siapa yang pantas didukung dan siapa yang harus disalahkan? Ataukah kita mulai menyusun ulang kerangka berpikir kita, bahwa konflik ini bukan semata-mata pertarungan antarnegara, tetapi konfrontasi antara dominasi imperialis yang merampas tanah, suara, dan hidup rakyat, melawan semangat perlawanan yang terus menyala—meski sering kali dicitrakan sebagai ancaman atau ekstremisme?
Iran bukan tanpa kesalahan. Namun dalam konteks ini, ia sedang berada di garda depan perlawanan terhadap arogansi global yang selama ini menjadikan wilayah kami sebagai panggung eksperimen senjata dan laboratorium hegemoni. Ketika G7 mengutuk Iran, mereka sedang menegaskan posisi mereka sebagai penjaga sistem lama yang sedang retak. Dan ketika kita diam, kita ikut mengukuhkan narasi palsu yang menjadikan penjajah sebagai korban dan pembela diri sebagai penjahat.

Di tengah ledakan dan luka yang tak henti mengoyak Gaza, Quds, dan Teheran, dunia sebenarnya sedang menyaksikan perang lain—perang atas kebenaran, perang atas sejarah, perang atas suara yang tak pernah diizinkan menyampaikan versinya sendiri. Jika hari ini kita membiarkan G7 menulis ulang siapa yang salah dan siapa yang benar, maka besok kita akan mendapati bahwa luka kita pun telah dibajak menjadi propaganda, dan penderitaan kita menjadi bahan bakar mesin kekuasaan mereka. Di sinilah kita harus berdiri, bukan hanya untuk Iran, tapi untuk hak seluruh bangsa untuk membela tanah, martabat, dan kedaulatannya—melawan deklarasi palsu yang dibuat di ruang-ruang mewah diplomasi, tetapi dibayar dengan darah di tanah-tanah yang dijajah.

Abdul Karim
Guru matematika SMUTH 2000 - 2005 dan praktisi pendidikan matematika dan IT
Free… Free Palestina… Langkah cerdas Imam Khomeini menggalang kekuatan dan persatuan manusia melawan penjajahan…. Kami Indonesia… Kami bersama Palestina