
Oleh : Mohammad Adlany, Ph. D (Anggota Dewan Syura IJABI)
Kisah Karbala tidak hanya menyentuh air mata, tapi juga menggugah hati nurani. Ia bukan semata tragedi, tapi ajaran hidup. Di Karbala, kita menyaksikan bagaimana Imam Husain as dan para pengikutnya menjadikan kebenaran sebagai pelita dan menolak kompromi dengan kebatilan, meski harus dibayar dengan darah, nyawa, dan keluarga. Karbala mengajarkan satu hal yang agung: mencintai kebenaran dan berpihak padanya adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.
Imam Husain tidak tinggal diam ketika umat mulai dijauhkan dari nilai-nilai Islam. Ketika Yazid menjadi pemimpin yang zhalim, Imam bangkit. Bukan karena ambisi dunia, tapi karena cinta terhadap kebenaran yang sedang diputarbalikkan.
Beliau menyatakan:
ألا ترون أن الحق لا يُعمل به، وأن الباطل لا يُتناهى عنه؟
“Tidakkah kalian lihat bahwa kebenaran tidak diamalkan dan kebatilan tidak dicegah?” (Bihar al-Anwar, jil. 44, hal. 381)
Kebungkaman atas kebatilan adalah pengkhianatan terhadap kebenaran. Cinta kebenaran sejati tidak membiarkan kebatilan berjalan bebas.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan karena Allah sebagai saksi-saksi dengan adil.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Imam Husain as dan para sahabatnya adalah contoh nyata orang-orang yang menjadi saksi kebenaran, menolak tunduk pada ketidakadilan meski harus menjadi minoritas yang dibantai.
Dalam Ziarah ‘Asyura, kita mengucapkan:
السلام عليك يا أبا عبد الله وعلى الأرواح التي حلت بفنائك… أشهد أنك قد أقمت الصلاة وآتيت الزكاة وأمرت بالمعروف ونهيت عن المنكر.”
Ini adalah kesaksian bahwa Imam Husain mencintai kebenaran dan menegakkannya: ia menjaga salat (simbol hubungan vertikal dengan Allah) dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (hubungan sosial dan keadilan).
Salah satu teladan agung adalah Habib bin Mazahir, sahabat Imam Husain yang telah tua renta. Saat surat Imam sampai, ia meninggalkan semua kenyamanan untuk berdiri di sisi kebenaran. Ia tahu jumlah mereka sedikit. Ia tahu musuh bersenjata lengkap. Tapi ia juga tahu satu hal: “Kebenaran tetap kebenaran walau sendiri.”
Imam Husain as dan para sahabatnya adalah contoh nyata orang-orang yang menjadi saksi kebenaran, menolak tunduk pada ketidakadilan meski harus menjadi minoritas yang dibantai.
Begitu pula Zuhair bin Qain, yang awalnya enggan berjumpa dengan Imam Husain as. Tapi ketika hatinya disentuh kebenaran, ia berkata kepada istrinya:
“Kau bebas dari ikatan pernikahan denganku. Pulanglah, karena aku akan mati di sisi putra Fatimah demi menegakkan agama ini.”
Imam Ali as berkata:
الساكت عن الحق شيطان أخرس.
“Orang yang diam terhadap kebenaran adalah setan bisu.” (Nahjul Balaghah, Hikmah no. 193)
Kebenaran tidak membutuhkan kata-kata manis, tapi keberanian untuk membela. Netralitas di tengah kebatilan dan kezaliman adalah bentuk kematian spiritual.
Imam Ja‘far Shadiq as berkata:
الحق ثقيل مرّ، والباطل خفيف حلو.
“Kebenaran itu berat dan pahit, sedangkan kebatilan itu ringan dan manis.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 375)
Tapi Karbala mengajarkan: lebih baik pahit bersama kebenaran daripada manis bersama kebatilan. Imam Husain tahu betul bahwa kebenaran seringkali tidak populer. Tapi beliau memilih jalan itu, karena cinta kepada kebenaran adalah cinta kepada Allah itu sendiri. Allah adalah kebenaran itu sendiri.
Cinta kebenaran bukanlah ucapan, tapi keberpihakan yang nyata. Jika kita benar-benar mencintai Husain as, kita pun harus berani berpihak pada yang benar—di rumah, di sekolah, di media sosial, di tengah masyarakat.
Karbala bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah cermin kehidupan: siapa yang membela kebenaran dan siapa yang membiarkannya dihancurkan. Dan sejarah akan mencatat, sebagaimana ia mencatat dua kelompok itu: Husain dan Yazid.
Mari kita pilih untuk menjadi pecinta kebenaran dan pembelanya—sebagaimana Imam Husain as telah menunjukkan jalannya.
